Jujur saja, pertama kali membaca judul buku ini, saya merasa dipinggirkan. Kenapa harus Bunda yang tidak boleh bercerai? Apa karena wanita itu lemah dan mudah memaafkan? Kenapa Mbak Asma sekli-kali tidak membuat buku tentang ayah? Lagi-lagi Bunda. Padahal kebanyakan perceraian terjadi karena ayah. Kenapa selalu wanita yang dipojokkan? Well, untuk kali ini, saya tidak mendukung judul buku ini, tidak seperti judul-judul bukunya Mbak Asma lainnya. Boleh dibilang, saya kecewa karena buku itu seolah mencegah saya untuk mengajukan gugatan cerai.
Cerpen pertama dalam buku ini membuat saya tersenyum sinis. Benar bukan? Selalu wanita yang menjadi korban, lalu mereka akan menangis dengan penuh penyesalan. Mengapa kehidupan seperti itu harus terjadi pada mereka?
Namun, cerpen kedua dan ketiga membuat saya merenung, seperti inikah dampak dari perceraian? Seorang anak yang merindukan ayahnya dan sang ibu yang berubah. Apa saya sanggup menjalani perubahan demi perubahan yang terjadi jika saya bercerai nanti? Rasanya seperti ada yang menohok ulu hati saya. Siapkah saya bercerai? Siapkah kehilangan semuanya? Bukankah memang seharusnya saya bisa lebih tegar dalam menjalani perahu di lautan ini.
Baca Selengkapnya
EmoticonEmoticon